Senin, 07 Januari 2013

analisis novel layar terkembang


Pendahuluan

Menurut Wellek dan Warren medium utama karya sastra adalah bahasa. Meskipun demikian bagi sastrawan, dalam proses kreatif bahasa hanyalah bahan mentah. Lotman menyebut sebagai sistem model pertama dan kedua. Sistem model yang kedua karya sastra bukan bahasa itu sendiri, karya sastra mengatas, mengsubbordinasikan bahan masuk ke dalam tataran literal, dunia kesusteraan (Nyoman, 2009:149)
Karya sastra bukanlah bahasa formal, maka gaya bahasa pun harus dipahami sebagai entitas yang telah memiliki hakikat sendiri. Pada umumnya kreatifitas dan imajinasi, sistem konvensi, dan hubungan dengan struktur sosiokultural serta keseluruhan dianggap sebagai ciri-ciri utama dalam rangka membedakan antara puitika bahasa dan sastra.
Mempelajari sastra berarti mempelajari bahasa, karena medium dalam karya sastra adalah bahasa. Mempelajari bahasa seharusnya juga memanfaatkan satra untuk berkembangnya bahasa itu sendiri.
Menurut Harimurti Kridalaksana Sutan Takdir Alisyahbana (STA) dikenal masyarakat umum sebagai seorang penulis novel ‘Layar Terkembang’ dan pendiri majalah Poedjangga Baroe. Namun ternyata selain ilmu dalam sastra, STA memberikan sumbangan dalam bidang bahasa. Ia menerbitkan buku Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia pada tahun 1949 serta mendapat julukan “Bapak Bahasa Indonesia Modern”(Abu Hasan, 2009:202)
Melalui Layar Terkembang, STA menuangkan pemikiran seorang intelek yang memiliki pemikiran yang luar biasa. Pemikiran tersebut kemudian dihadirkan dalam tokoh seorang wanita bernama “Tuti”. Novel ini merupakan novel yang didaktis, sehingga tak heran jika novel ini cetak hingga 38 kali sejak tahun 1937 – 2006. (Nyoman, 2009:129)







Pembahasan

Novel ‘Layar Terkembang’ menceritakan antara dua saudara yang mempunyai karater yang berbeda. Maria adalah gadis yang ceria dan lincah, sedangkan kakaknya Tuti seorang perempuan yang serius dan aktif dalam organisasi wanita. Percintaan antara Maria dan Yusuf yang harus kandas karena Maria terkena penyakit TBC dan kemudian Yusuf menikah dengan Tuti.
Novel ini dapat menjelaskan kecenderungan kaum perempuan tahun 1930-an lebih baik dengan ilmu pengetahuan, bukan semata-mata melalui tema emasipasi dan ciri pergerakan pemuda pada waktu itu, tetapi melalui penggunaan bahasa sehingga timbul citra mengenai perjuangan perempuan.
Karakter perempuan 30-an nampak dalam novel ini diceritakan dengan bahasa sederhana namun sedikit adanya pengaruh dari bahasa Belanda. Pengaruh budaya Belanda yang masuk berupa penampilan maupun kosakata yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Wanita Indonesia pada saat itu cenderung masih kolot dan masih bergantung pada laki-laki. Melalui novel ini STA ingin mengungkapkan bagaimana seorang wanita bersikap, wanita harus mempunyai pandangan yang luas.
Melalui novel ini dapat diinterpretasikan tentang bagaimana situasi pada saat itu. Bagaimana masyarakat pada saat itu sebenarnya sudah mengenal tentang adanya pergerakkan nasional di mana di tandai dengan munculnya kaum terpelajar yang mendirikan organisasi Budi Utomo. Sejak munculnya Budi Utomo maka munculah berbagai partai dan organisai politik termasuk organisasi wanita seperti Wanita Oetomo, Poetri Indonesia, Poetri Sedar, dll.
Munculnya organisasi wanita pada saat itu sangat berpengaruh terhadap masyarakat saat itu, terutama kaum wanita. Walaupun tidak semua, namun sebagian besar wanita sudah mulai belajar untuk bersekolah. Dari situlah dapat interpretasikan tokoh Tuti dalam novel ini mewakili karakter perempuan yang berpendidikan.
Ada hal yang perlu diperhatikan bahwa emansipasi dalam novel ini adalah persamaan derajat antara perempuan dan laki-laki. Perempuan tetap harus bersikap sebagaimana mestinya, sekuat apapun perempuan masih membutuhkan laki-laki. Perempuan harus saling menghormati terhadap siapapun, dan mesti berjuang untuk kaum dan bangsanya dengan wawasan yang luas.
Mengenai tokoh Tuti, sebenarnya tokoh Tuti ini sangat menarik untuk dibahas. Pada awalnya Tuti tidak menyetujui akan hubungan Maria dan Yusuf karena menggangap akan merendahkan kaum perempuan karena memperlihatkan ketergantungannya pada laki-laki.
Namun dalam hatinya, ada perasaan yang aneh yang timbul yaitu perasaan kesepian. Pada dasarnya Tuti juga mendambakan kasih sayang seorang laki-laki. Dari itulah muncul sikap aneh pada diri Tuti yang lebih sering melamun. Walau begitu Tuti tetap pada pendiriannya yang tidak mau menikah dengan seseorang yang dianggap lebih rendah dari dirinya.
Perasaan Tuti terungkap saat akhir cerita, di mana saat Maria sakit dan meminta Yusuf dan Tuti menikah karena sakit Maria tidak bisa disembuhkan. Maka Tuti menerima Yusuf sebagai suaminya. Dalam hal ini dapat diinterpretasikan bahwa sosok laki-laki yang didambakan Tuti adalah sosok seperti Yusuf. Yusuf dianggap sepadan dengan dirinya.
Tuti dengan tegas menolak ketika Hambali mengajaknya bertemu orang tuanya. Pada malam itu Tuti lebih memilih bertemu dengan teman-teman dari organisasinya. Tuti tidak dapat terlepas dari cita-citanya.
Walaupun seorang inteleks Tuti namun ia mengatakan dengan tegas mengkritisi tentang perempuan yang meniru dan hidup pola orang Eropa. Hal itu terbukti pada saat percakapannya dengan Yusuf
“Daripada didikan dan pergaulan dengan barat itu diambilnya saja yang enaknya. Bangun tinggi hari, sore tidur lagi, senja minum teh di hadapan rumah dan melancong-lancong mengambil udara. Mereka yang demikian menyebut dirinya modern. Tetapi semangat modern, sebenarnya, semangat yang menyebabkan orang barat dapat menjadi mulia, tiada diketahui mereka sedikit jua pun. Sifat teliti, kekerasaan hati, ketajaman otak, kegembiraan otak, kegembiraan bekerja yang sangat mengagumkan kita pada orang Barat, sekaliannya itu tiada sedikit jua pun diambilnya. Kelebihan orang Barat bagi mereka serupa itu ialah keindahan pakaian, rapi, dan mahalnya perabot rumah, bibir, dan kuku yang bercat, dan sepanjang hari berkeliara naik auto.”
Novel ‘Layar Terkembang’ ini telah memberikan polemik pada STA tentang intelektualitas. Dalam hal ini peneliti menginterpratasikan bahwa STA ingin merubah pemikiran tentang anti-inteleks, inteleks harus diasah sehingga kita menjadi bangsa yang berpengetahuan luas. Hal tersebut tercermin pada percakapan Tuti di atas.
Akhir cerita yang dengan sengaja mematikan Maria semakin memperjelas bahwa pengarang dengan sengaja ingin membuktikan bahwa nantinya wanita seperti Tuti lah yang akan hidup di masa depan. Sehingga pengarang tetap menghidupkan tokoh Tuti. Tokoh seperti Tuti yang ingin dihadirkan di dunia nyata.
Pengalaman sang pengarang dalam hal ini STA sangat berpengaruh terhadap karyanya. Menurut Tamalia Alisjahbana STA tertarik pada sosok Kartini sebagai orang intelektual Indonesia yang berani memperjuangkan kaum perempuan. Pengalaman tentang ibunya yang sering dipukul ayahnya membuat hati STA terluka.
Dalam karya-karya STA tidak jarang kita akan menemukan tokoh utama seorang wanita seperti Sayu dalam Anak Perawan di Sarang Penyamun, Janet di Grota Azzura, dan Elisabeth dalam Kalah dan Menang.
Saat ini pergerakan wanita mulai menampakkan hasil. Perempuan pada saat ini sudah sama derajatnya dengan laki-laki. Terbukti semakin banyaknya tokoh wanita di Indonesia yang berhasil dalam dunia politik. Seperti halnya mantan Presiden Indonesia Ibu Megawati Soekarnoputri, mantan Mentri Keuangan Ibu Sri Mulyani, Armida Alisjahbana ahli Ekonomi , alm. Ibu Endang Rahayu mantan Menteri Kesehatan dll.
Wanita karier mulai bermunculan seiring berkembangnya waktu dan zaman. Perempuan memiliki hak yang sama dalam mendapatkan kedudukan dalam pemerintahan. Namun semakin banyak pula berkurang kasih sayang anak, karena waktu untuk bertemu dengan kedua orang tua semakin berkurang. Para ibu yang seharusnya juga memberikan waktu pada anaknya harus membanting tulang untuk bekerja.
Pada tahun 1998  terbentuknya Komisi Nasional Perempuan. Komnas Perempuan ini  berfungsi untuk melindungi hak asasi perempuan. Latar terbentuknya organisasi ini maraknya kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan perempuan paling keras terjadi pada saat reformasi Mei 1998 terhadap etnis Tionghoa.
Adanya Komnas Perempuan tidak lantas membuat perempuan Indonesia tenang. Mereka yang bekerja di luar negeri sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri masih sering disiksa oleh majikannya di luar negeri. Pemerintah belum bisa memanfaatkan organisasi tersebut dengan baik.
Berkaitan dengan novel seperti terjadi koherensi antara sosok perempuan seperti Tuti pada tahun tersebut, dengan perempuan pada masa sekarang yang ternyata semakin banyak. Semakin lama, perempuan semakin sadar pentingnya pengetahuan dan wawasan untuk kemajuan bangsa.
Aspek keindahan suatu karya sastra ditentukan pula bagaimana pengarang dapat memilih kata tertentu yang sesuai dengan maksudnya, yang seringdisebut dengan Majas. Kaitannya dengan gaya bahasa, majas merupakan sebagian kecil dari gaya bahasa yang berfungsi membantu dan melengkapi gaya bahasa.
Pemakaian kosa kata bahasa Belanda banyak terdapat novel  ‘Layar Terkembang’ ini. Pemakaian bahasa Belanda terpengaruh dari lingkunganya yang pada zaman itu terpengaruh orang-orang Belanda karena masih terjajah.
Beberapa kosakata Belanda yang ada dalam novel ini misalnya :
Jurk : pakaian wanita Eropa
Kastenggel : nama kue panjang-panjang dari keju
Kattetong : nama kue berbentuk lidah kucing
Sutuden : mahasiswa
Zus : anda (perempuan)
Ziender liefde geen geluk : tanpa cinta tidak bahagia
Centraal Burgerlijk Ziekenhuis : Rumah Sakit Umum Pusat
Kweekschool : sekolah guru
H.B.S (Hogere Burger School) : Sekolah Lanjutan Tinggi Pertama untuk orang pribumi
H.I.S (Holland Inlands School) : sekolah rendah berbahasa Belanda Untuk anak Indonesia
MULO (Meer Uitgrebreid Lager Onderwijs) : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
A.M.S (Algemene Middelbare School) : Sekolah Menengah Atas
Binnenlands Bestuur : Dalam Negeri

Diksi atau pilihan kata yang dipilih pengarang dalam hal ini sangat berpengaruh terhadap karyanya. Diksi yang digambarkan harus sesuai dengan tokoh dalam cerita. Pilihan kata yang yang digunakan oleh Tuti berbeda dengan Maria dan Yusuf. Tuti harus menggambarkan perempuan yang mempunyai wawasan yang luas, maka kata-kata yang Tuti ucapakan dalam novel menggambarkan seorang inteleks. Seperti saat pidatonya dalam cara Konggres Puteri Sedar :
“Hitam, hitam sekali penghidupan perempuan bangsa kita di masa yang silam, lebih hitam, dari malam yang gelap. Perempuan bukan manusia seperti laki-laki yang mempunyai pikiran dan pandangan sendiri, yang mempunyai hidup sendiri, perempuan hanya hamba sahaya, perempuan hanya budak yang harus bekerja dan melahirkan anak bagi anak laki-laki, dengan tidak mempunyai hak…”(LT,Hal.33).
Berbeda dengan Tuti, tokoh Maria disini digambarkan sebagai tokoh yang polos, ceria, dan lincah maka penggambaran diksinya pun harus sesuai dengan karakternya.
“Aduh, indah benar.” Dan seraya mlompat-lompat kecil ditariknya tangan kakaknya ,”Lihat Ti, yang kecil itu, alangkah bagus mulutnya! Apa yang ditelannya itu? Nah, nah, dia bersembunyi di celah karang.”(LT,Hal.8).
Yusuf yang digambarkan seorang yang dokter yang pintar dan ramah. Setiap perkataannya halus dan sopan, maka pengarang hati-hati dalam memilih diksi yang tepat untuk sosok Yusuf ini.
“Kalau begitu sekarang Zus harus lekas-lekas masuk. Sekarang bukan waktunya lagi kita pemuda-pemuda berdiam diri. Seluruh masyarakat kita sedang bergetak. Masalah kita yang muda-muda yang terpelajar akan menjadi nonton saja? Apabila kita dari sekarng tiada mulai serta, sampai kemudian …”(LT, Hal.19).
Majas sudah berpola dan pola-pola tersebut seakan membatasi kreatifitas seseorang. Majas telah digolongkan yang mengakibatkan pembatasan wilayah pemakaian dan maknanya. Sebaliknya gaya bahasa tidak terbatas. Semua kembali kepada kemampuan pengarang  untuk menciptakan dan kemampuan pembaca untuk memahaminya. Macam majas ada empat macam yaitu majas perbandingan, majas sinidiran, majas penegasan, majas pertentangan.
            “…bahwa keadaan perempuan bangsanya amat buruk. Dalam segala hal mahluk yang tiada mempunyai kehendak dan keyakinan, manusia yang terikat oleh beratus-ratus ikatan, manusia hanya harus menurut kehendak kaum laki-laki.”
Kalimat tersebut termasuk dalam majas sindiran satire yaitu ungkapan yang menggunakan salah satu majas sindiran untuk mengecam sesuatu. Kalimat tersebut termasuk kalimat yang mengecam para perempuan, karena wanita baginya hanya dapat menurut apa kehendak kaum laki-laki.
“…kalau sesungguhnya kita dapat kita sesuatu oleh bernazar, maka dunia ini tentu telah lama menjadi surga. Tak ada lagi orang yang berkekurangan, tak ada lagi orang yang sakit dan mati.”
Kalimat di atas merupakan majas perbandingan alegori yang artinya menyatakan dengan cara lain melalui kiasan atau penggambaran.
“…sebagai seorang yang besar dalam didikan cara lama, tetapi tiada menutup matanya kepada perubahan yang berlangsung setiap ahri dalam pergaulan, kabur-kabur terasa kepadanya, bahwa telah demikianlah kehendak zaman.”
Merupakan kalimat majas sindiran litotes yaitu kalimat atau ungkapan yang berupa mengecilkan fakta dengan merendahkan diri. Kalimat tersebut artinya walaupun orang tua terdidik dengan cara yang lama, orang tua harus turut membuka dirinya untuk perubahan yang terjadi dalam kehidupan kita seiring perkembangan zaman.
“ …bahwa tiap-tiap manusia harus menjalankan penghidupannya sendiri, sesuai dengan deburan jantungnya, bahwa perempuan pun harus mencari bahagianya dengan jalan menghidupkan sukmanya.”
Ungkapan tersebut termasuk kalimat yang melebih-lebihkan dan memiliki pesan pada bahwa seseorang akan bahagia jika ia melakukan sesuai dengan apa yang disenanginya.
 “…hendak bekerja sebagai manusia bebas, hendak mencari pekerjaan yang sesuai dengan kata hatinya, pekerjaan kantor yang sekarang itu dikatakan pekerjaan mesin yang mematikan semangat…”
Kalimat di atas kalimat diucapkan oleh Partadi yang mengeluh tentang adiknya yang bernama Saleh pada keluarga Wiratmaja. Menurutnya adiknya adiknya keliru menilai pekerjaannya itu sebagai pekerjaan yang membuat ia tidak semangat bekerja.
“…saya tahu sejak lahirnya Bapak menamakan dirinya orang Islam, tetapi nama itu baginya hanya nama pusaka. Sebagai pusaka boleh juga ia menempel kepada saya, tetapi saya tiada akan menyebut-nyebutnya sebelum ia berdebut sebenar-benarnya dalam hati saya. Sebab bagisaya rupa yang lahir itu harus sesuai dengan isinya, di dalam.”
Tuti mempunyai pemikiran tersendiri tentang agama. Ia menggangap bahwa selama ia belum menemukan agama yang pas sesuai dengan katahatinya. Menurutnya agama hanya sebagai simbol, namun pada kenyataannya belum ada realisasinya.
“ Saudara-saudara kaum perempuan yang terhormat! Berbicara tentang sikap perempuan baru bahagian besar ialah berbicara tentang cita-cita bagaimanakah harusnya kedudukan perempuan dalam masyarakat yang akan datang. Janganlah semata-mata berarti berunding tentang angan-angan dan pelamunanyang tiada mempunyai guna…”
Kalimat di atas merupakan kalimat pembuka pidato Tuti saat rapat Kongres Poetri Sedar. Dalam pernyataannya dapat diketahui pula bagaimana karakter seorang Tuti yang merupakan perempuan inteleks. Tuti dengan lantang mengajak para perempuan dalam rapat tersebut agar bersikap selayaknya perempuan. Tuti juga menerangkan tentang kedudukan perempuan dalam masyarakat.
“…perempuan yang dicita-citakan dalam Poetri Sedar bukanlah perempuan yang berdiri dalam masyarakat sebagai hamba dan sahaya,tetapi sebagai manusia yang sejajar dengan laki-laki, yang tidak usah takut dan minta dikasihani. Yang tiada suka melakukan yang berlawanan dengan kata hatinya, malahan yang tiada hendak kawin, apabila perkawinan itu…’’
 Penutup yang disampaikan oleh Tuti di mana pidato tersebut menginterpretasikan bahwa perempuan yang diharapkan oleh organisasi tersebut adalah perempuan sejajar kedudukannya dengan laki-laki. Perempuan bebas melakukan sesuatu dengan kata hatinya tanpa paksaan.
 “…telah sering ia memikir apakah sebabnya maka liburan ini lain rasanya dari sediakala. Dan di tengah keindahan alam di perjalanan ke Liwa dan ke Keroi, kegelisahan hatinya itu bertambah, seakan-akan oleh tamasya kepermainan dan kebesaran alam yang dilihatnya …”
Setelah membaca surat dari Maria Yusuf memikirkan hal-hal yang membuatnya merasa liburannya di Martapura kali ini berbeda. Kalimat” seakan-akan oleh tamasya kepermainan dan kebesaran alam yang dilihatnya” dapat diinterpretasikan bahwa kegelisahaan Yusuf telah semakin bertambah seperti saat melihat pemandangan alam di Liwa dan ke Keroi.
“…Hormat akan keberaniannya ketetapan hatinya, hormat akan ketajaman pikirannya, hormat akan kegembiraannya berjuang dan berkorban bagi yang terasa kepadanya mulia dan suci. Pada yang seorang lagi perasaan hormat itu diganti oleh perasaan yang gaib yang tiada terkatakan; oleh perkataannya yang bersahaja oleh gerak badannya dan cahaya mukanya yang tiada ditahan-tahan, oleh suaranya yang mesra mencumbu dan pandangan matanya yang membelai menyinar kagum.”
Ungkapan di atas merupakan perasaan Yusuf dalam hatinya bahwa ia menghormati dan mengagumi Tuti, hal itu terlihat pada kalimat “hormat akan ketajaman pikirannya”. Ketajaman pikiran Tuti dengan sengaja dapat mempengaruhi perasaan Yusuf. Sedangkan pada Maria ada hal yang lain dirasakan, bukan rasa hormat melainkan rasa suka. Hal terungkap pada kalimat “…perasaan hormat itu diganti oleh perasaan yang gaib yang tiada terkatakan” perasaan gaib tersebut merupakan cinta.
“Cinta engkau barangkali cinta perdagangan, baik dan buruknya ditimbang semiligram, tidak hendak rugi barang sedikit…”
Kata-kata itu diucapkan oleh Maria pada Tuti, Maria menganggap bahwa Tuti tidak bisa mencintai seseorang dengan tulus. Tuti tidak mau mengorbankan diri dalam urusan cinta. Hal itu menjadi kelemahan Tuti yang hingga saat itu belum memiliki kekasih.
“…Remuk dan hancur rasa hatinya terbuai dalam perjuangan jiwanya. Tetapi akhirnya terang dan jelas pendiriannya sebagai karang yang perkasa menganjur di atas gemuruh gelombang. Tiada ia akan kawin apabila perkawinan itu hanya sekedar untuk lari dari kesunyian”
Adalah kata hati Tuti saat telah mengunjungi makam Maria. Sekarang ia telah tersadar dan menemukan titik terang tentang dirinya. Sosok yang serius dan sedikit acuh itu pada laki-laki itu akhirnya memutuskan untuk menikah dengan Yusuf.
           
Penutup

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Novel ‘Layar Terkembang’ ini merupakan karya sastra yang fenomenal. Dikatakan fenomenal karena dari tahun 1937 – 2009 telah dicetak 38 kali.
Sutan Takdir Alisjahbana selaku pengarang novel ini ingin memberikan tentang gambaran intelektualnya melalui tokoh Tuti. Tokoh Tuti sebagai emansipasi wanita berjuang untuk menjadikan perempuan sejajar dengan kaum laki-laki tanpa meninggalkan kodratnya.
STA memang terpengaruh budaya Barat, namun budaya Barat di sini maksudnya pemikiran modern. STA lewat tokoh Tuti ingin memajukan pemikiran inteleksnya dengan berfikir modern tanpa meninggalkan budaya negara. Terbukti pemikiran tersebut sekarang mempengaruhi perempuan pada saat ini yang mulai banyak yang berkarier.
STA yang terkenal dengan ahli linguistiknya, dalam karyanya tetap memperhatikan licensia poetica. Diksi dalam novel ini sangat indah karena bahasa yang digunakan bahasa sastra yang indah sesuai dengan karakter tokoh.

Daftar Pustaka
Abu Hasan Asy’ari, 2010. Membaca Takdir ( Pemikiran dan Jejak STA). Jakarta : Dian Rakyat
Nyoman Kutha Ratna, 2009. Stilistika (Kajian Puitika Bahasa Sastra dan Budaya). Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Sutan Takdir Alisjahbana, 1987. Layar Terkembang. Jakarta : Balai Pustaka
www.komnasperempuan.or.id/ diakses tanggal 16 Desember 2012 pukul 12.05     
www.shofanandarto.blogspot.com/ diakses tanggal 16 Desember 2012 pukul 12.10



Sinopsis
SINOPSIS LAYAR TERKEMBANG
KARYA SULTAN TAKDIR ALISYAHBANA

Tuti dan Maria merupakan anak dari Raden Wiriatmajda, anak sulungnya yaitu Tuti memiliki sifat yang teguh pendiriannya, pendiam dan aktif dalam berbagai organisasi wanita. Sebaliknya dengan anak bungsu Wiriatmajda, Maria cenderung periang, lincah dan orang yang mudah kagum. Hari minggu ini mereka akan mengunjungi akuarium di sebuah pasar ikan, ketika mereka hendak mengambil sepeda dan meninggalkan pasar seorang pemuda menghampiri mereka yang kebetulan sepeda pemuda itu bersebelahan dengan sepeda mereka. Akhirnya mereka berkenelan dengan pemuda tersebut. Pemuda tersebut bernama Yusuf dia merupakan mahasiswa kedokteran dan putra dari Demang Munaf, yang tinggal di Martapura Kalimantan Selatan. Setelah berkenalan Yusuf mengantar Tuti dan Maria sampai depan rumah.
Semenjak pertemuan itu Yusuf selalu terbayang-bayang kedua gadis tersebut, terutama Maria gadis yang cantik, lincah dan periang. Yusuf telah menaruh hati kepada Maria sejak pertama mereka bertemu. Keesokan hainya Yusuf, Maria dan Tuti  bertemu di depan hotel Des Indes semenjak pertemuan mereka yang kedua itu Yusuf sering sekali menjemput Maria untuk berangkat bersama ke sekolah. Hubungan mereka semakin dekat, Yusuf pun sudah berani berkunjung ke rumah Wiriatmadja untuk menemui Maria. Di sana dia di sambut dengan lembut dan sopan, sering sekali dia berkunjung ke sana. Tuti pun sedang di sibukkan dengan kongres Putri Sedar yang di pimpinnya.
Yusuf memutuskan untuk berlibur sebentar di kampong halamannya. Selama berlibur Maria dan Yusuf saling berkirim surat, dalam surat tersebut Maria mengatakan telah pindah ke Bandung. Surat-surat yang dikirim oleh Maria membuat Yusuf semakin rindu kepadanya, sehingga dia memutuskan untuk kembali ke Jakarta dan mengunjungi Maria. Kedatangan Yusuf di sambut hangat oleh Maria dan Tuti. Yusuf mengajak mereka berjalan-jalan, tetapi Tuti tidak dapat meninggalkan kesibukannya. Mereka menuju ke air terjun, di bahaw air terjun Maria merasa kedinginan dalam kesempatan itu Yusuf menyatakan cintanya kepada Maria.
Hari-hari Maria penuh dengan kehangatan dengan Yusuf. Sebaliknya hari-hari Tuti dihabiskan dengan membaca buku. Melihat kemesraan yang di alami adiknya Tuti pun ingin mengalami hal yang sama. Tetapi Tuti memiliki kekawatiran terhadap hubungan Maria dan Yusuf. Tuti menasehati Maria jangan terlalu diperbudak oleh cinta, nasehat Tuti justru memicu pertengkaran di antara mereka. Maria bahkan menyinggung akibat putusnya hubungan Tuti dengan tunangannya Hambali. Pertengkatan antara mereka memberikan pukulan keras terhadap Tuti.
Dari kejadian itu Tuti merasa sendiri dan sepi dalam kehidupannya. Di tempat kerjanya Tuti mendapat teman baru yaitu Supomo. Supomo sempat menyatakan cintanya kepadanya. Sekarang Tuti dihadapkan pada dua pilihan antara menikah dengan organisasi Putri Sedar yang tidak dapat dia tinggalkan. Akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkan Supomo meskipun dia telah berusia 27 tahun.
Maria terserang sakit yang cukup parah, yaitu muntah darah dan TBC. Keluarga Wiriatmadja akhirnya memutuskan agar Maria di rawat di rumah sakit Pacet. Tuti pun kembali memperhatikan Maria, Ia sangat khawatir akan keadaan adiknya. Setiap hari Yusuf juga mengunjungi Maria, secara langsung Yusuf selalu bertemu dengan Tuti. Tuti dan Yusuf sudah mulai dekat. Semakin hari keadaan Maria semakin menurun, dan keadaannya berakhir dengan kematian.
Sebelum meninggal Maria telah berpesan kepada Tuti, supaya apabila jiwanya tidak terselamatkan kakaknya bersedia menjadi istri kekasihnya yang sekarang ini. Tuti dan Yusuf telah kehilangan seseorang yang amat mereka sayangi. Sepeninggal Maria, Tuti merasa bahwa Yusuf dapat di cintainya dengan tulus,. Sebaliknya Tuti juga merasakan bahwa cinta Yusuf kepadanya juga tulus. Sekarang Tuti merasa yakin bahwa Yusuf adalah calon suami yang baik dan bisa di cintainya. 


1 komentar: