Pendahuluan
Menurut
Wellek dan Warren
medium utama karya sastra adalah bahasa. Meskipun demikian bagi sastrawan,
dalam proses kreatif bahasa hanyalah bahan mentah. Lotman menyebut sebagai
sistem model pertama dan kedua. Sistem model yang kedua karya sastra bukan
bahasa itu sendiri, karya sastra mengatas, mengsubbordinasikan bahan masuk ke
dalam tataran literal, dunia kesusteraan (Nyoman, 2009:149)
Karya
sastra bukanlah bahasa formal, maka gaya
bahasa pun harus dipahami sebagai entitas yang telah memiliki hakikat sendiri.
Pada umumnya kreatifitas dan imajinasi, sistem konvensi, dan hubungan dengan
struktur sosiokultural serta keseluruhan dianggap sebagai ciri-ciri utama dalam
rangka membedakan antara puitika bahasa dan sastra.
Mempelajari
sastra berarti mempelajari bahasa, karena medium dalam karya sastra adalah
bahasa. Mempelajari bahasa seharusnya juga memanfaatkan satra untuk
berkembangnya bahasa itu sendiri.
Menurut
Harimurti Kridalaksana Sutan Takdir Alisyahbana (STA) dikenal masyarakat umum
sebagai seorang penulis novel ‘Layar
Terkembang’ dan pendiri majalah Poedjangga Baroe. Namun ternyata selain
ilmu dalam sastra, STA memberikan sumbangan dalam bidang bahasa. Ia menerbitkan
buku Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia pada tahun 1949 serta mendapat julukan “Bapak
Bahasa Indonesia Modern”(Abu Hasan, 2009:202)
Melalui
Layar Terkembang, STA menuangkan pemikiran seorang intelek yang memiliki
pemikiran yang luar biasa. Pemikiran tersebut kemudian dihadirkan dalam tokoh
seorang wanita bernama “Tuti”. Novel ini merupakan novel yang didaktis,
sehingga tak heran jika novel ini cetak hingga 38 kali sejak tahun 1937 – 2006.
(Nyoman, 2009:129)
Pembahasan
Novel
‘Layar Terkembang’ menceritakan
antara dua saudara yang mempunyai karater yang berbeda. Maria adalah gadis yang
ceria dan lincah, sedangkan kakaknya Tuti seorang perempuan yang serius dan
aktif dalam organisasi wanita. Percintaan antara Maria dan Yusuf yang harus
kandas karena Maria terkena penyakit TBC dan kemudian Yusuf menikah dengan Tuti.
Novel
ini dapat menjelaskan kecenderungan kaum perempuan tahun 1930-an lebih baik
dengan ilmu pengetahuan, bukan semata-mata melalui tema emasipasi dan ciri
pergerakan pemuda pada waktu itu, tetapi melalui penggunaan bahasa sehingga
timbul citra mengenai perjuangan perempuan.
Karakter
perempuan 30-an nampak dalam novel ini diceritakan dengan bahasa sederhana
namun sedikit adanya pengaruh dari bahasa Belanda. Pengaruh budaya Belanda yang
masuk berupa penampilan maupun kosakata yang digunakan dalam percakapan
sehari-hari. Wanita Indonesia
pada saat itu cenderung masih kolot dan masih bergantung pada laki-laki. Melalui
novel ini STA ingin mengungkapkan bagaimana seorang wanita bersikap, wanita
harus mempunyai pandangan yang luas.
Melalui
novel ini dapat diinterpretasikan tentang bagaimana situasi pada saat itu.
Bagaimana masyarakat pada saat itu sebenarnya sudah mengenal tentang adanya
pergerakkan nasional di mana di tandai dengan munculnya kaum terpelajar yang
mendirikan organisasi Budi Utomo. Sejak munculnya Budi Utomo maka munculah
berbagai partai dan organisai politik termasuk organisasi wanita seperti Wanita
Oetomo, Poetri Indonesia,
Poetri Sedar, dll.
Munculnya
organisasi wanita pada saat itu sangat berpengaruh terhadap masyarakat saat
itu, terutama kaum wanita. Walaupun tidak semua, namun sebagian besar wanita
sudah mulai belajar untuk bersekolah. Dari situlah dapat interpretasikan tokoh
Tuti dalam novel ini mewakili karakter perempuan yang berpendidikan.
Ada hal yang perlu
diperhatikan bahwa emansipasi dalam novel ini adalah persamaan derajat antara
perempuan dan laki-laki. Perempuan tetap harus bersikap sebagaimana mestinya, sekuat
apapun perempuan masih membutuhkan laki-laki. Perempuan harus saling
menghormati terhadap siapapun, dan mesti berjuang untuk kaum dan bangsanya
dengan wawasan yang luas.
Mengenai
tokoh Tuti, sebenarnya tokoh Tuti ini sangat menarik untuk dibahas. Pada
awalnya Tuti tidak menyetujui akan hubungan Maria dan Yusuf karena menggangap
akan merendahkan kaum perempuan karena memperlihatkan ketergantungannya pada
laki-laki.
Namun
dalam hatinya, ada perasaan yang aneh yang timbul yaitu perasaan kesepian. Pada
dasarnya Tuti juga mendambakan kasih sayang seorang laki-laki. Dari itulah
muncul sikap aneh pada diri Tuti yang lebih sering melamun. Walau begitu Tuti
tetap pada pendiriannya yang tidak mau menikah dengan seseorang yang dianggap
lebih rendah dari dirinya.
Perasaan
Tuti terungkap saat akhir cerita, di mana saat Maria sakit dan meminta Yusuf
dan Tuti menikah karena sakit Maria tidak bisa disembuhkan. Maka Tuti menerima
Yusuf sebagai suaminya. Dalam hal ini dapat diinterpretasikan bahwa sosok
laki-laki yang didambakan Tuti adalah sosok seperti Yusuf. Yusuf dianggap
sepadan dengan dirinya.
Tuti
dengan tegas menolak ketika Hambali mengajaknya bertemu orang tuanya. Pada
malam itu Tuti lebih memilih bertemu dengan teman-teman dari organisasinya.
Tuti tidak dapat terlepas dari cita-citanya.
Walaupun
seorang inteleks Tuti namun ia mengatakan dengan tegas mengkritisi tentang
perempuan yang meniru dan hidup pola orang Eropa. Hal itu terbukti pada saat
percakapannya dengan Yusuf
“Daripada didikan dan pergaulan dengan barat
itu diambilnya saja yang enaknya. Bangun tinggi hari, sore tidur lagi, senja
minum teh di hadapan rumah dan melancong-lancong mengambil udara. Mereka yang
demikian menyebut dirinya modern. Tetapi semangat modern, sebenarnya, semangat
yang menyebabkan orang barat dapat menjadi mulia, tiada diketahui mereka
sedikit jua pun. Sifat teliti, kekerasaan hati, ketajaman otak, kegembiraan
otak, kegembiraan bekerja yang sangat mengagumkan kita pada orang Barat,
sekaliannya itu tiada sedikit jua pun diambilnya. Kelebihan orang Barat bagi
mereka serupa itu ialah keindahan pakaian, rapi, dan mahalnya perabot rumah,
bibir, dan kuku yang bercat, dan sepanjang hari berkeliara naik auto.”
Novel
‘Layar Terkembang’ ini telah memberikan polemik pada STA tentang
intelektualitas. Dalam hal ini peneliti menginterpratasikan bahwa STA ingin
merubah pemikiran tentang anti-inteleks, inteleks harus diasah sehingga kita
menjadi bangsa yang berpengetahuan luas. Hal tersebut tercermin pada percakapan
Tuti di atas.
Akhir
cerita yang dengan sengaja mematikan Maria semakin memperjelas bahwa pengarang
dengan sengaja ingin membuktikan bahwa nantinya wanita seperti Tuti lah yang
akan hidup di masa depan. Sehingga pengarang tetap menghidupkan tokoh Tuti.
Tokoh seperti Tuti yang ingin dihadirkan di dunia nyata.
Pengalaman
sang pengarang dalam hal ini STA sangat berpengaruh terhadap karyanya. Menurut
Tamalia Alisjahbana STA tertarik pada sosok Kartini sebagai orang intelektual Indonesia
yang berani memperjuangkan kaum perempuan. Pengalaman tentang ibunya yang
sering dipukul ayahnya membuat hati STA terluka.
Dalam
karya-karya STA tidak jarang kita akan menemukan tokoh utama seorang wanita
seperti Sayu dalam Anak Perawan di Sarang
Penyamun, Janet di Grota Azzura,
dan Elisabeth dalam Kalah dan Menang.
Saat
ini pergerakan wanita mulai menampakkan hasil. Perempuan pada saat ini sudah
sama derajatnya dengan laki-laki. Terbukti semakin banyaknya tokoh wanita di Indonesia
yang berhasil dalam dunia politik. Seperti halnya mantan Presiden Indonesia Ibu
Megawati Soekarnoputri, mantan Mentri Keuangan Ibu Sri Mulyani, Armida
Alisjahbana ahli Ekonomi , alm. Ibu Endang Rahayu mantan Menteri Kesehatan dll.
Wanita
karier mulai bermunculan seiring berkembangnya waktu dan zaman. Perempuan
memiliki hak yang sama dalam mendapatkan kedudukan dalam pemerintahan. Namun
semakin banyak pula berkurang kasih sayang anak, karena waktu untuk bertemu
dengan kedua orang tua semakin berkurang. Para
ibu yang seharusnya juga memberikan waktu pada anaknya harus membanting tulang
untuk bekerja.
Pada
tahun 1998 terbentuknya Komisi Nasional
Perempuan. Komnas Perempuan ini
berfungsi untuk melindungi hak asasi perempuan. Latar terbentuknya
organisasi ini maraknya kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan perempuan
paling keras terjadi pada saat reformasi Mei 1998 terhadap etnis Tionghoa.
Adanya
Komnas Perempuan tidak lantas membuat perempuan Indonesia tenang. Mereka yang bekerja
di luar negeri sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri masih sering
disiksa oleh majikannya di luar negeri. Pemerintah belum bisa memanfaatkan
organisasi tersebut dengan baik.
Berkaitan
dengan novel seperti terjadi koherensi antara sosok perempuan seperti Tuti pada
tahun tersebut, dengan perempuan pada masa sekarang yang ternyata semakin
banyak. Semakin lama, perempuan semakin sadar pentingnya pengetahuan dan
wawasan untuk kemajuan bangsa.
Aspek
keindahan suatu karya sastra ditentukan pula bagaimana pengarang dapat memilih
kata tertentu yang sesuai dengan maksudnya, yang seringdisebut dengan Majas. Kaitannya
dengan gaya bahasa, majas merupakan sebagian
kecil dari gaya bahasa yang berfungsi membantu
dan melengkapi gaya
bahasa.
Pemakaian
kosa kata bahasa Belanda banyak terdapat novel
‘Layar Terkembang’ ini. Pemakaian bahasa Belanda terpengaruh dari
lingkunganya yang pada zaman itu terpengaruh orang-orang Belanda karena masih
terjajah.
Beberapa
kosakata Belanda yang ada dalam novel ini misalnya :
Jurk : pakaian wanita Eropa
Kastenggel : nama kue panjang-panjang
dari keju
Kattetong : nama kue berbentuk lidah
kucing
Sutuden : mahasiswa
Zus : anda (perempuan)
Ziender liefde geen geluk : tanpa cinta
tidak bahagia
Centraal Burgerlijk Ziekenhuis : Rumah
Sakit Umum Pusat
Kweekschool : sekolah guru
H.B.S (Hogere Burger
School) : Sekolah
Lanjutan Tinggi Pertama untuk orang pribumi
H.I.S (Holland
Inlands School)
: sekolah rendah berbahasa Belanda Untuk anak Indonesia
MULO (Meer Uitgrebreid Lager Onderwijs) :
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
A.M.S (Algemene Middelbare
School) : Sekolah
Menengah Atas
Binnenlands Bestuur : Dalam Negeri
Diksi
atau pilihan kata yang dipilih pengarang dalam hal ini sangat berpengaruh
terhadap karyanya. Diksi yang digambarkan harus sesuai dengan tokoh dalam
cerita. Pilihan kata yang yang digunakan oleh Tuti berbeda dengan Maria dan
Yusuf. Tuti harus menggambarkan perempuan yang mempunyai wawasan yang luas,
maka kata-kata yang Tuti ucapakan dalam novel menggambarkan seorang inteleks.
Seperti saat pidatonya dalam cara Konggres Puteri Sedar :
“Hitam, hitam sekali penghidupan perempuan
bangsa kita di masa yang silam, lebih hitam, dari malam yang gelap. Perempuan
bukan manusia seperti laki-laki yang mempunyai pikiran dan pandangan sendiri,
yang mempunyai hidup sendiri, perempuan hanya hamba sahaya, perempuan hanya
budak yang harus bekerja dan melahirkan anak bagi anak laki-laki, dengan tidak
mempunyai hak…”(LT,Hal.33).
Berbeda
dengan Tuti, tokoh Maria disini digambarkan sebagai tokoh yang polos, ceria,
dan lincah maka penggambaran diksinya pun harus sesuai dengan karakternya.
“Aduh, indah benar.” Dan seraya
mlompat-lompat kecil ditariknya tangan kakaknya ,”Lihat Ti, yang kecil itu,
alangkah bagus mulutnya! Apa yang ditelannya itu? Nah, nah, dia bersembunyi di
celah karang.”(LT,Hal.8).
Yusuf
yang digambarkan seorang yang dokter yang pintar dan ramah. Setiap perkataannya
halus dan sopan, maka pengarang hati-hati dalam memilih diksi yang tepat untuk
sosok Yusuf ini.
“Kalau begitu sekarang Zus harus lekas-lekas
masuk. Sekarang bukan waktunya lagi kita pemuda-pemuda berdiam diri. Seluruh
masyarakat kita sedang bergetak. Masalah kita yang muda-muda yang terpelajar
akan menjadi nonton saja? Apabila kita dari sekarng tiada mulai serta, sampai
kemudian …”(LT, Hal.19).
Majas
sudah berpola dan pola-pola tersebut seakan membatasi kreatifitas seseorang.
Majas telah digolongkan yang mengakibatkan pembatasan wilayah pemakaian dan
maknanya. Sebaliknya gaya
bahasa tidak terbatas. Semua kembali kepada kemampuan pengarang untuk menciptakan dan kemampuan pembaca untuk
memahaminya. Macam majas ada empat macam yaitu majas perbandingan, majas
sinidiran, majas penegasan, majas pertentangan.
“…bahwa
keadaan perempuan bangsanya amat buruk. Dalam segala hal mahluk yang tiada
mempunyai kehendak dan keyakinan, manusia yang terikat oleh beratus-ratus
ikatan, manusia hanya harus menurut kehendak kaum laki-laki.”
Kalimat
tersebut termasuk dalam majas sindiran satire yaitu ungkapan yang menggunakan
salah satu majas sindiran untuk mengecam sesuatu. Kalimat tersebut termasuk
kalimat yang mengecam para perempuan, karena wanita baginya hanya dapat menurut
apa kehendak kaum laki-laki.
“…kalau sesungguhnya kita dapat kita sesuatu
oleh bernazar, maka dunia ini tentu telah lama menjadi surga. Tak ada lagi
orang yang berkekurangan, tak ada lagi orang yang sakit dan mati.”
Kalimat
di atas merupakan majas perbandingan alegori yang artinya menyatakan dengan
cara lain melalui kiasan atau penggambaran.
“…sebagai seorang yang besar dalam didikan
cara lama, tetapi tiada menutup matanya kepada perubahan yang berlangsung
setiap ahri dalam pergaulan, kabur-kabur terasa kepadanya, bahwa telah
demikianlah kehendak zaman.”
Merupakan
kalimat majas sindiran litotes yaitu kalimat atau ungkapan yang berupa
mengecilkan fakta dengan merendahkan diri. Kalimat tersebut artinya walaupun
orang tua terdidik dengan cara yang lama, orang tua harus turut membuka dirinya
untuk perubahan yang terjadi dalam kehidupan kita seiring perkembangan zaman.
“ …bahwa tiap-tiap manusia harus menjalankan
penghidupannya sendiri, sesuai dengan deburan jantungnya, bahwa perempuan pun
harus mencari bahagianya dengan jalan menghidupkan sukmanya.”
Ungkapan
tersebut termasuk kalimat yang melebih-lebihkan dan memiliki pesan pada bahwa
seseorang akan bahagia jika ia melakukan sesuai dengan apa yang disenanginya.
“…hendak
bekerja sebagai manusia bebas, hendak mencari pekerjaan yang sesuai dengan kata
hatinya, pekerjaan kantor yang sekarang itu dikatakan pekerjaan mesin yang
mematikan semangat…”
Kalimat
di atas kalimat diucapkan oleh Partadi yang mengeluh tentang adiknya yang
bernama Saleh pada keluarga Wiratmaja. Menurutnya adiknya adiknya keliru
menilai pekerjaannya itu sebagai pekerjaan yang membuat ia tidak semangat
bekerja.
“…saya tahu sejak lahirnya Bapak menamakan
dirinya orang Islam, tetapi nama itu baginya hanya nama pusaka. Sebagai pusaka
boleh juga ia menempel kepada saya, tetapi saya tiada akan menyebut-nyebutnya
sebelum ia berdebut sebenar-benarnya dalam hati saya. Sebab bagisaya rupa yang
lahir itu harus sesuai dengan isinya, di dalam.”
Tuti
mempunyai pemikiran tersendiri tentang agama. Ia menggangap bahwa selama ia
belum menemukan agama yang pas sesuai dengan katahatinya. Menurutnya agama
hanya sebagai simbol, namun pada kenyataannya belum ada realisasinya.
“ Saudara-saudara kaum perempuan yang
terhormat! Berbicara tentang sikap perempuan baru bahagian besar ialah
berbicara tentang cita-cita bagaimanakah harusnya kedudukan perempuan dalam
masyarakat yang akan datang. Janganlah semata-mata berarti berunding tentang
angan-angan dan pelamunanyang tiada mempunyai guna…”
Kalimat
di atas merupakan kalimat pembuka pidato Tuti saat rapat Kongres Poetri Sedar.
Dalam pernyataannya dapat diketahui pula bagaimana karakter seorang Tuti yang
merupakan perempuan inteleks. Tuti dengan lantang mengajak para perempuan dalam
rapat tersebut agar bersikap selayaknya perempuan. Tuti juga menerangkan
tentang kedudukan perempuan dalam masyarakat.
“…perempuan yang dicita-citakan dalam Poetri
Sedar bukanlah perempuan yang berdiri dalam masyarakat sebagai hamba dan
sahaya,tetapi sebagai manusia yang sejajar dengan laki-laki, yang tidak usah
takut dan minta dikasihani. Yang tiada suka melakukan yang berlawanan dengan kata
hatinya, malahan yang tiada hendak kawin, apabila perkawinan itu…’’
Penutup yang disampaikan oleh Tuti di mana
pidato tersebut menginterpretasikan bahwa perempuan yang diharapkan oleh
organisasi tersebut adalah perempuan sejajar kedudukannya dengan laki-laki.
Perempuan bebas melakukan sesuatu dengan kata hatinya tanpa paksaan.
“…telah
sering ia memikir apakah sebabnya maka liburan ini lain rasanya dari sediakala.
Dan di tengah keindahan alam di perjalanan ke Liwa dan ke Keroi, kegelisahan
hatinya itu bertambah, seakan-akan oleh tamasya kepermainan dan kebesaran alam
yang dilihatnya …”
Setelah
membaca surat
dari Maria Yusuf memikirkan hal-hal yang membuatnya merasa liburannya di
Martapura kali ini berbeda. Kalimat” seakan-akan oleh tamasya kepermainan dan
kebesaran alam yang dilihatnya” dapat diinterpretasikan bahwa kegelisahaan
Yusuf telah semakin bertambah seperti saat melihat pemandangan alam di Liwa dan
ke Keroi.
“…Hormat akan keberaniannya ketetapan
hatinya, hormat akan ketajaman pikirannya, hormat akan kegembiraannya berjuang
dan berkorban bagi yang terasa kepadanya mulia dan suci. Pada yang seorang lagi
perasaan hormat itu diganti oleh perasaan yang gaib yang tiada terkatakan; oleh
perkataannya yang bersahaja oleh gerak badannya dan cahaya mukanya yang tiada
ditahan-tahan, oleh suaranya yang mesra mencumbu dan pandangan matanya yang
membelai menyinar kagum.”
Ungkapan
di atas merupakan perasaan Yusuf dalam hatinya bahwa ia menghormati dan
mengagumi Tuti, hal itu terlihat pada kalimat “hormat akan ketajaman
pikirannya”. Ketajaman pikiran Tuti dengan sengaja dapat mempengaruhi perasaan
Yusuf. Sedangkan pada Maria ada hal yang lain dirasakan, bukan rasa hormat
melainkan rasa suka. Hal terungkap pada kalimat “…perasaan hormat itu diganti
oleh perasaan yang gaib yang tiada terkatakan” perasaan gaib tersebut merupakan
cinta.
“Cinta engkau barangkali cinta perdagangan,
baik dan buruknya ditimbang semiligram, tidak hendak rugi barang sedikit…”
Kata-kata
itu diucapkan oleh Maria pada Tuti, Maria menganggap bahwa Tuti tidak bisa
mencintai seseorang dengan tulus. Tuti tidak mau mengorbankan diri dalam urusan
cinta. Hal itu menjadi kelemahan Tuti yang hingga saat itu belum memiliki
kekasih.
“…Remuk dan hancur rasa hatinya terbuai
dalam perjuangan jiwanya. Tetapi akhirnya terang dan jelas pendiriannya sebagai
karang yang perkasa menganjur di atas gemuruh gelombang. Tiada ia akan kawin
apabila perkawinan itu hanya sekedar untuk lari dari kesunyian”
Adalah
kata hati Tuti saat telah mengunjungi makam Maria. Sekarang ia telah tersadar
dan menemukan titik terang tentang dirinya. Sosok yang serius dan sedikit acuh
itu pada laki-laki itu akhirnya memutuskan untuk menikah dengan Yusuf.
Penutup
Dari
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Novel ‘Layar Terkembang’ ini merupakan
karya sastra yang fenomenal. Dikatakan fenomenal karena dari tahun 1937 – 2009
telah dicetak 38 kali.
Sutan
Takdir Alisjahbana selaku pengarang novel ini ingin memberikan tentang gambaran
intelektualnya melalui tokoh Tuti. Tokoh Tuti sebagai emansipasi wanita
berjuang untuk menjadikan perempuan sejajar dengan kaum laki-laki tanpa
meninggalkan kodratnya.
STA
memang terpengaruh budaya Barat, namun budaya Barat di sini maksudnya pemikiran
modern. STA lewat tokoh Tuti ingin memajukan pemikiran inteleksnya dengan
berfikir modern tanpa meninggalkan budaya negara. Terbukti pemikiran tersebut
sekarang mempengaruhi perempuan pada saat ini yang mulai banyak yang berkarier.
STA
yang terkenal dengan ahli linguistiknya, dalam karyanya tetap memperhatikan
licensia poetica. Diksi dalam novel ini sangat indah karena bahasa yang
digunakan bahasa sastra yang indah sesuai dengan karakter tokoh.
Daftar Pustaka
Abu
Hasan Asy’ari, 2010. Membaca Takdir (
Pemikiran dan Jejak STA). Jakarta
: Dian Rakyat
Nyoman
Kutha Ratna, 2009. Stilistika (Kajian
Puitika Bahasa Sastra dan Budaya). Yogyakarta
: Pustaka Pelajar
Sutan Takdir Alisjahbana, 1987. Layar Terkembang. Jakarta : Balai Pustaka
www.komnasperempuan.or.id/ diakses
tanggal 16 Desember 2012 pukul 12.05
www.shofanandarto.blogspot.com/
diakses
tanggal 16 Desember 2012 pukul 12.10
Sinopsis
SINOPSIS LAYAR
TERKEMBANG
KARYA SULTAN TAKDIR ALISYAHBANA
Tuti dan Maria merupakan anak dari
Raden Wiriatmajda, anak sulungnya yaitu Tuti memiliki sifat yang teguh
pendiriannya, pendiam dan aktif dalam berbagai organisasi wanita. Sebaliknya
dengan anak bungsu Wiriatmajda, Maria cenderung periang, lincah dan orang yang
mudah kagum. Hari minggu ini mereka akan mengunjungi akuarium di sebuah pasar
ikan, ketika mereka hendak mengambil sepeda dan meninggalkan pasar seorang
pemuda menghampiri mereka yang kebetulan sepeda pemuda itu bersebelahan dengan
sepeda mereka. Akhirnya mereka berkenelan dengan pemuda tersebut. Pemuda
tersebut bernama Yusuf dia merupakan mahasiswa kedokteran dan putra dari Demang
Munaf, yang tinggal di Martapura Kalimantan Selatan. Setelah berkenalan Yusuf
mengantar Tuti dan Maria sampai depan rumah.
Semenjak pertemuan itu Yusuf selalu
terbayang-bayang kedua gadis tersebut, terutama Maria gadis yang cantik, lincah
dan periang. Yusuf telah menaruh hati kepada Maria sejak pertama mereka
bertemu. Keesokan hainya Yusuf, Maria dan Tuti
bertemu di depan hotel Des Indes semenjak pertemuan mereka yang kedua itu
Yusuf sering sekali menjemput Maria untuk berangkat bersama ke sekolah.
Hubungan mereka semakin dekat, Yusuf pun sudah berani berkunjung ke rumah
Wiriatmadja untuk menemui Maria. Di sana dia di
sambut dengan lembut dan sopan, sering sekali dia berkunjung ke sana. Tuti pun sedang di
sibukkan dengan kongres Putri Sedar yang di pimpinnya.
Yusuf memutuskan untuk berlibur
sebentar di kampong halamannya. Selama berlibur Maria dan Yusuf saling berkirim
surat, dalam surat
tersebut Maria mengatakan telah pindah ke Bandung.
Surat-surat yang dikirim oleh Maria membuat Yusuf semakin rindu kepadanya,
sehingga dia memutuskan untuk kembali ke Jakarta
dan mengunjungi Maria. Kedatangan Yusuf di sambut hangat oleh Maria dan Tuti.
Yusuf mengajak mereka berjalan-jalan, tetapi Tuti tidak dapat meninggalkan
kesibukannya. Mereka menuju ke air terjun, di bahaw air terjun Maria merasa
kedinginan dalam kesempatan itu Yusuf menyatakan cintanya kepada Maria.
Hari-hari Maria penuh dengan
kehangatan dengan Yusuf. Sebaliknya hari-hari Tuti dihabiskan dengan membaca
buku. Melihat kemesraan yang di alami adiknya Tuti pun ingin mengalami hal yang
sama. Tetapi Tuti memiliki kekawatiran terhadap hubungan Maria dan Yusuf. Tuti
menasehati Maria jangan terlalu diperbudak oleh cinta, nasehat Tuti justru
memicu pertengkaran di antara mereka. Maria bahkan menyinggung akibat putusnya
hubungan Tuti dengan tunangannya Hambali. Pertengkatan antara mereka memberikan
pukulan keras terhadap Tuti.
Dari kejadian itu Tuti merasa
sendiri dan sepi dalam kehidupannya. Di tempat kerjanya Tuti mendapat teman
baru yaitu Supomo. Supomo sempat menyatakan cintanya kepadanya. Sekarang Tuti
dihadapkan pada dua pilihan antara menikah dengan organisasi Putri Sedar yang
tidak dapat dia tinggalkan. Akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkan Supomo
meskipun dia telah berusia 27 tahun.
Maria terserang sakit yang cukup
parah, yaitu muntah darah dan TBC. Keluarga Wiriatmadja akhirnya memutuskan
agar Maria di rawat di rumah sakit Pacet. Tuti pun kembali memperhatikan Maria, Ia
sangat khawatir akan keadaan adiknya. Setiap hari Yusuf juga mengunjungi Maria,
secara langsung Yusuf selalu bertemu dengan Tuti. Tuti dan Yusuf sudah mulai
dekat. Semakin hari keadaan Maria semakin menurun, dan keadaannya berakhir
dengan kematian.
Sebelum meninggal Maria telah
berpesan kepada Tuti, supaya apabila jiwanya tidak terselamatkan kakaknya
bersedia menjadi istri kekasihnya yang sekarang ini. Tuti dan Yusuf telah
kehilangan seseorang yang amat mereka sayangi. Sepeninggal Maria, Tuti merasa
bahwa Yusuf dapat di cintainya dengan tulus,. Sebaliknya Tuti juga merasakan
bahwa cinta Yusuf kepadanya juga tulus. Sekarang Tuti merasa yakin bahwa Yusuf
adalah calon suami yang baik dan bisa di cintainya.
izin copy ya, kak..
BalasHapus