Sabtu, 22 Maret 2014

derivasi infleksi



Pendahuluan

Istilah lain yang biasa dipakai untuk klasifikasi kata adalah penggolongan kata atau penjelasan kata; klasifikasi kata ini dalam sejarah linguistik selalu menjadi salah satu topik yang tidak pernah terlewatkan.
Para tata bahasawan tradisional menggunakan kriteria makna dan fungsi. Kriteria makna digunakan untuk mengidentifikasikan kelas verba, nomina, dan ajektifa, sedangkan kriteria fungsi digunakan untuk mengidentifikasikan preposisi, konjungsi, adverbia, pronomina, dan lain-lainnya (Abdul Chaer, 1994 : 166).
Untuk dapat digunakan di dalam kalimat atau pertuturan tertentu, maka setiap bentuk dasar, terutama dalam bahasa fleksi dan aglutinasi harus dibentuk lebih dahulu menjadi sebuah kata gramatikal, baik melalui proses afiksasi, proses reduplikasi, maupun proses komposisi.
Pembentukan kata ini mempunyai dua sifat yaitu pertama membentuk kata yang bersifat inflektif, dan kedua yang bersifat dervatif. Infleksi dan derivasi merupakan persoalan yang klasik di dalam tata-bahasa tradisional dan selalu dibedakan di dalam pemerian morfologi bahasa-bahasa indo-eropa. Hal itu tergolong wajar karena bahasa-bahasa itu memang tergolong fleksi atau infleksi. Hal itu berbeda dari bahasa Indonesia yang termasuk aglutinasi (Abdul Chaer, 1994 : 167).
Pembahasan
Infleksi dan Derivasi
Afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada sebuah dasar atau bentuk dasar. Dalam proses ini terlibat unsur-unsur (1) dasar atau bentuk dasar (2) afiks, dan (3) makna gramatikal yang dihasilkan. Proses ini dapat bersifat inflektif dan dapat pula bersifat derivatif (Abdul Chaer, 1994 : 177).
Afiks adalah sebuah bentuk, misalnya berupa morfem terikat, yang diimbuhkan pada sebuah dasar dalam proses pembentukan kata. Sesuai dengan sifat kata yang dibentuknya, dibedakan adanya dua jenis afiks, yaitu afiks inflektif dan afiks derivatif. Yang dimaksud dengan afiks inflektif adalah afiks yang digunakan dalam pembentukan kata-kata inflektif atau paradigma infleksional.
  1. Proses  morfemis yang derivasional
Proses morfemis yang mengakibatkan perubahan keanggotaan kategorial kata yang dikenainya dan jenis ini dapat ditentukan dengan tes keanggotaan kategorial kata.
Contoh:  menghitam (KK) diturunkan dari Kata Sifat (KS) hitam
  1. Proses morfemis yang paradigmatik (infleksi)
Proses morfemis yang tidak mengakibatkan perubahan keanggotaan kategorial kata.
Contoh: Menjualkan (KK) diturunkan dari menjual (KK) tidak mengubah kategori kata.
Jadi, fleksi adalah perubahan morfemis dengan mempertahankan identitas leksikal dari kata yang bersangkutan, dan derivasi adalah perubahan morfemis yang menghasilkan kata dengan identitas morfemis yang lain (Verhar, 1979:66).
Dalam artikel Dwi Purnanto, afiks infleksional cenderung mempunyai makna tetap, sedangkan afiks derivasional belum tentu (Bauer, 1988: 77). Pada proses infleksi, perubahan kata dasar menjadi kata bentukan tidak mengubah makna, sedangkan pada proses derivasi kata bentukan yang dihasilkan biasanya memiliki makna yang berbeda atau relatif berbeda dari makna bentuk dasarnya. Secara infleksional, pada kata tembak, perubahan menjadi menembak, ditembak, dan tertembak tidak mengubah makna bentuk kelas kata, namun hanya mengubah makna gramatikal. Namun demikian, secara derivasional, perubahan tembak (adjektiva) menjadi penembak (nomina) memiliki makna yang sangat berbeda dari bentuk dasarnya. Dengan demikian, selain terjadi perubahan makna pada derivasi, sebagaimana telah diungkapakan pada prinsip (1), terjadi pula perubahan kelas atau identitas kata. (4) Afiks derivasional lebih dekat dengan akar kata daripada afiks infleksional (Bauer, 1988: 80).
Afiks dapat dibagi menjadi dua jenis afiks, yaitu afiks‑afiks infleksional dan afiks‑afiks derivasional. Afiks infleksional adalah afiks yang mampu menghasilkan bentuk‑bentuk kata yang baru dari leksem dasarnya, sedangkan afiks derivasional adalah afiks yang meng­hasilkan leksem baru dari leksem dasar. Misalnya dalam bahasa Indonesia dibedakan prefiks me- yang infektif dan prefiks me- yang derivatif. Sebagai afiks inflektif prefiks me- menandai bentuk kalimat indikatif aktif, sebagai kebalikan dari prefiks di- yang menandai bentuk indikatif pasif. Sebagai afiks derivatif, prefiks me- membentuk kata baru yaitu kata yang identitas leksikalnya tidak sama dengan bentuk dasarnya. Misalnya, terdapat pada kata membesar yang berkelas verba dari dasar ajektifa; atau mematung yang berkelas verba dari dasar nomina.

Afiks infleksi dan derivasi
Afiks derivasi digunakan pada proses afiksasi yang bersifat derivasi; afiks infleksi digunakan pada proses afiksasi yang bersifat infleksi. Proses afiksasi yang bersifat derivasi itu akan menghasilkan leksem (kata dalam pengertian kata leksikal) dari leksem yang menjadi D; proses afiksasi yang bersifat infleksi akan menghasilkan bentuk-kata (word-form) (kata dalam pengertian kata gramatikal) dari suatu leksem (D).
Bertolak dari fungsi fleksi dan fungsi derivasi pada afiks, afiks dapat dibedakan atas dua kelompok berdasarkan fungsinya, yakni (1) afiks derivasi dan (2) afiks infleksi. Bauer menjelaskan bahwa afiks derivasi adalah afiks yang memproduksi leksem baru (kata dalam pengertian leksem) dari suatu leksem; dan afiks infleksi adalah afiks yang berfungsi memproduksi bentuk-kata (kata gramatikal) dari suatu leksem. Sejumlah cara membedakan afiks derivasi dengan afiks infleksi menurut Bauer adalah sebagai berikut:
1.  Jika suatu afiks mengubah kelas kata, berarti afiks derivasi, dan jika tidak mengubah kelas kata, biasanya, afiks infleksi (tetapi dapat pula afiks derivasi);
2.  Afiks derivasi mempunyai makna yang tidak tetap (tidak teratur), sedangkan
afiks infleksi selalu mempunyai makna yang tetap (teratur);
3. Suatu kaidah umum adalah afiks derivasi kurang produktif sedangkan afiks infleksi sangat produktif.
Istilah proses derivasi dan proses infleksi ini didasarkan pada istilah yang digunakan Matthews. Pada verba afiksasi yang memiliki beberapa afiks, afiks-afiks tersebut mengimbuh secara hierarkis. Jika pada verba afiksasi terdapat afiks derivasi dan afiks infleksi, maka pengimbuhan itu terjadi menurut kaidah tertentu (kaidah umum). Kaidah umum tersebut adalah proses derivasional akan terjadi lebih dahulu dan kemudian diikuti oleh proses infleksi.
Menurut Subroto (1987), setiap proses morfologis, sebuah afiks akan termasuk infleksional kalau di dalam suatu paradigma dapat diramalkan untuk menggantikan afiks infleksional lainnya. Dengan demikian, juga terdapat keteraturan makna gramatikal di dalam paradigma infleksional. Ciri‑ciri yang demikian tidak terdapat pada paradigma yang derivasional (1985: 6).
‑LEMPARIß---------  -LEMPAR-----------à-LEMPARKAN
Melempari                   melempar                    melemparkan  1
Dilempari                    dilempar                      dilemparkan  2
Kulempari                   kulempar                     kulempar   3
Kaulempari                  kaulempar                    kaulemparkan  4
Dialempari                   dialempar                    dialemparkan  5
                        -                                   terlempar                     -
Paradigma kata kerja terbagi atas tiga kolom: kolom -lempar kolom -lempari, dan kolom lemparkan. Masing‑masing kolom merupakan paradigma infleksional dan masing‑masing mempunyai bentuk kata baris 1 – 6.
Terlihat pada masing‑masing kolom bahwa bentuk dengan Me(N)‑ (sebagai bentuk pertama, baris pertama) dapat digantikan dengan di‑, ku‑, kau‑, dia‑. Oleh karena itu, masing‑masing kolom merupakan paradigma infleksional. Kemunculan masing‑masing bentuk dari setiap kolom dapat diramal­kan berdasarkan kaidah gramatis tertentu. Bentuk baris 1 terda­pat apabila kalimat berfokus agentif, sedangkan baris 2‑6 berfokus pasientif. Perbedaan antara baris 2‑6 menyatkan ‘keak­sidentalan’ (hal tidak disengaja); baris 2‑5 menyatakan ‘kesen­gajaan’. Baris 6 berbeda dengan baris 3‑5 karena menyatakan pelaku ‘nampak dalam bentuk’, sedangkan baris 2 menyatakan pelaku ‘tidak nampak dalam bentuk’; baris 3 pelaku adalah O1, baris 4 adalah O2, baris 5 adalah O3.
Selanjutnya perlu dibedakan leksem ‑lempar, ‑lempari, dan ‑lemparkan. Leksem ‑lempari bermakna ‘pluralitas perbuatan’, ‑lemparkan (dalam oposisinya dengan ‑lempar) mengandung ciri ‘kebenefaktifan’. Dengan begitu, kata melempar, melempari, dan melemparkan secara leksikal adalah tiga kata yang berbeda (derivasional) sekalipun termasuk dalam kata kerja.

                                                            Penutup

Pembentukan kata mempunyai dua sifat yaitu pertama membentuk kata yang bersifat inflektif, dan kedua yang bersifat dervatif.
  1. Proses  morfemis yang derivasional
Proses morfemis yang mengakibatkan perubahan keanggotaan kategorial kata yang dikenainya dan jenis ini dapat ditentukan dengan tes keanggotaan kategorial kata.
  1. Proses morfemis yang paradigmatik (infleksi)
Proses morfemis yang tidak mengakibatkan perubahan keanggotaan kategorial kata.
Sejumlah cara membedakan afiks derivasi dengan afiks infleksi menurut Bauer adalah sebagai berikut:
1.  Jika suatu afiks mengubah kelas kata, berarti afiks derivasi, dan jika tidak mengubah kelas kata, biasanya, afiks infleksi (tetapi dapat pula afiks derivasi);
2.  Afiks derivasi mempunyai makna yang tidak tetap (tidak teratur), sedangkan
afiks infleksi selalu mempunyai makna yang tetap (teratur);
3. Suatu kaidah umum adalah afiks derivasi kurang produktif sedangkan afiks infleksi sangat produktif.
Daftar Pustaka
Abdul Chaer. 1994. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta
Dwi Purnanto . 2006. Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 18, No. 35, 2006: 136-152 (Kajian Morfologi Derivasional dan Infleksional dalam Bahasa Indonesia) diakses pada tanggal 04 April 2012 pukul 09.00 
Edi Subroto. 1987.Infleksi dan Derivasi: kemungkinan penerapanya dalam morfologi Bahasa Indonesia dalam jurnal MLI Desember 1987 tahun 5 No. 10.
Verhaar, J.W.M. 1979. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Senin, 07 Januari 2013

contoh metode penelitian sastra


Pendahuluan

Latar Belakang
Dalam pengertian yang paling luas, feminisme adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarjinalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial lainnya. Senada dengan definisi tersebut, The New Encyclopedia of Britannica memaknai feminisme adalah keyakinan yang berasal dari Barat, berkaitan dengan kesetaraan sosial, ekonomi dan politik antara laki-laki dan perempuan, yang tersebar ke seluruh dunia lewat berbagai lembaga yang bergerak atas nama hak-hak dan kepentingan perempuan.
Dalam pengertian yang lebih sempit, yaitu dalam sastra, feminisme dikaitkan dengan cara-cara memahami karya sastra baik dalam kaitannya dengan proses produksi maupun resepsi. Emansipasi wanita dengan demikian merupakan salah satu aspek dalam kaitannya dengan persamaan hak. Dalam ilmu sosial kontemporer lebih dikenal sebagai gerakan kesetaraan jender.
Novel “Layar Terkembang” merupakan salah satu novel karya Sutan Takdir Alisjahbana atau yang dikenal dengan nama STA. Dalam novel Layar Terkembang (LT) ini STA menuangkan pemikiranya sebagai seorang intelek yang memiliki pemikiran yang luar biasa. Pemikiran tersebut kemudian dihadirkan dalam tokoh seorang wanita bernama “Tuti”. Novel ini merupakan novel yang didaktis, sehingga tak heran jika novel ini cetak hingga 38 kali sejak tahun 1937 – 2006 (Nyoman, 2009:129).
Karakter tokoh Tuti di sini adalah seorang perempuan yang serius dan aktif dalam organisasi wanita. Tuti dengan segala aktifitas organisasi perempuannya kental akan pengaruh budaya barat. Walaupun seorang inteleks namun Tuti dalam novel ini mengatakan dengan tegas mengkritisi tentang perempuan yang meniru dan hidup pola orang Eropa. Wanita Indonesia pada saat itu cenderung masih kolot dan masih bergantung pada laki-laki. Melalui novel ini STA ingin mengungkapkan bagaimana seorang wanita bersikap, wanita harus mempunyai pandangan yang luas.

Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini peneliti memberi batasan permasalahan yang akan dikaji, agar penelitian berfokus dan tidak berfokus melewati fokus permasalahan, sehingga dapat mencapai sasaran yang diinginkan. Penelitian ini hanya difokuskan pada permasalahan perempuan pada jaman 1930an, tokoh Tuti, dan pengaruh budaya barat pengarang dalam novel Layar Terkembang.
Perumusan Masalah
Rumusan masalah dibuat berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas. Hal ini bertujuan agar menuntun peneliti ke arah data yang dicari. Beberapa permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut.
  1. Bagaimana masalah-masalah yang dihadapi perempuan-perempuan pada zaman 1930an dalam novel Layar Terkembang?
  2. Bagaimana kesadaran bentuk jender tokoh Tuti dalam novel Layar Terkembang?
  3. Bagaimana pengaruh budaya barat pengarang yang mempengaruhi karakter tokoh Tuti dalam novel Layar Terkembang?
Tujuan Penelitian
  1. Mengungkapkan masalah-masalah yang dihadapi perempuan-perempuan pada zaman 1930-an pada novel tersebut.
  2. Mengidentifikasikan kesadaran bentuk jender tokoh Tuti dalam novel Layar Terkembang.
  3. Mengidentifikasi pengaruh budaya barat pengarang yang mempengaruhi karakter Tuti dalam karyanya tersebut.
Manfaat Penelitian
Manfaat Teoritis
Dari penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan mengenai studi analisis terhadap analisis sastra Indonesia, khususnya analisis novel dengan pendekatan feminisme. Kritik sastra feminisme telah menyarankan adanya pembaharuan yang berupa pengakuan akan adanya penulis dan pembaca perempuan. Sehingga terjadi kesetaraan jender dan karya sastra antara laki-laki dan perempuan.
Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini adalah untuk menerangkan terhadap pembaca bahwa novel Layar Terkembang mengemukakan tentang emansipasi wanita pada tahun 1930an yang dikemas dalam satu novel bertema percintaan. Perjuangan seorang wanita inteleks yang terpengaruh oleh budaya barat. Perempuan pada tahun 1930an masih minim pengetahuan.
Landasan Teori
Kajian Pustaka
            Masalah-masalah tentang feminis sering dibahas dalam beberapa penelitian. Topik mengenai perempuan sangat menarik sehingga menimbulkan banyak penelitian. Peneliti menemukan beberapa penelitian tentang feminisme misalnya saja penelitian dalam bentuk skripsi pada novel Saman, Larung, dan Perempuan Berkalung Sorban. Sedangkan untuk novel Layar Terkembang peneliti belum menemukan penelitian terhadap novel ini melalui pendekatan feminis.
Aspek Teori
Sebuah karya sastra merupakan struktur yang bersistem, sebagai struktur berarti bahwa di dalamnya terdapat unsur-unsur yang saling berkoherensi dan membentuk seperangkat hukum instrinsik yang menentukan hakikat unsur-unsur itu sendiri. Dengan demikian, teori struktural merupakan suatu disiplin yang memandang karya sastra sebagai suatu stuktur yang terdiri atas beberapa unsur. Unsur- unsur tersebut saling berkaitan satu dengan yang lainnya dan membentuk satu makna yang bulat dan utuh.
Naratologi (naratif) itu sendiri berarti teori mengenai sistem narasi serta kemungkinan-kemungkinan mengadakan variasi bila sistem tersebut dikonkritkan. Membahas alur, penokohan, aspek ruang dan waktu, dan fokalisasi. Naratologi mengambil masalah terhadap berbagai hal yang berhubungan dengan wacana naratif, bagaimana menyiasati peristiwa-peristiwa cerita ke dalam sebuah bentuk yang terorganisasi yang bernama plot atau alur. Struktur naratif yaitu penderitaan kembali terhadap unsur-unsur struktural yang ada di dalam suatu karya sastra. Dalam penelitian teks naratif, kaum formalis menekankan unsur-unsur cerita dan motif.
Naratif dapat menyajikan realitas manusia terhadap waktu, kenangan masa lalu bila kenangan itu ada sangkut perutnya dengan masa sekarang dan membayangkan masa yang akan datang.
1. Alur
Secara struktural alur sangat erat berkaitan dengan penokohan dalam menonjolkan tema cerita. Para tokoh atau pelakunya melakukan perbuatan-perbuatan yang dengan wataknya. Perbuatan-perbuatan itu menimbulkan peristiwa-peristiwa. Rangkaian peristiwa itulah yang saling berhubungan berdasarkan hubungan sebab akibat itulah yang disebut dengan alur. Alur ialah urutan kejadian untuk mengeratkan jalan cerita melalui kerumitan sampai klimaks dan penyelesaian.
Pada umumnya strutur alur terdiri dari 1) tahap situasion (pengarang melukiskan suatu keadaan, 2) tahap generating circumstances (peristiwa bersangkut paut mulai bergerak), 3) tahap rising action (keadaan mulai memuncak), 4) tahap climax (peristiwa-peristiwa mencapai puncaknya), 5) tahap denounment (pemecahan persoalan-persoalan dari semua peristiwa).
Naratologi sebagai sebuah pengkajian mengenai struktur naratif bertujuan untuk mendapatkan susunan teks. Untuk itu pertama-tama harus ditentukan satuan-satuan cerita dan fungsinya. Secara naratologi sebuah naratif niscaya memilki 2 komponen atau bagian, cerita dan wacana.
2. Penokohan
Penokohan merupakan unsur penting dalam karya sastra naratif. Tokoh cerita menurut Abrams adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Teknik pelukisan tokoh menurut Burhan Nurgiantoro ada dua yaitu :
  1. Teknik analitis yaitu pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian atau penjelasan secara langsung.
  2. Teknik dramatik yaitu pengarang membiarkan para tokoh cerita untuk menunjukkan kediriannya sendiri  melalui berbagai aktifitas yang dilakukan
Berdasarkan perbedaan sudut pandang dan tinjaun jenis tokoh dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis penamaan di antaranya 1) berdasarkan segi peranan, 2) berdasarkan fungsi penampilan tokoh, 3) berdasarkan perwatakannya, 4) berdasarkan berkembangan atau tidaknya perwatakan tokoh, 5) berdasarkan pencerminan tokoh cerita terhadap manusia dari kehidupan nyata.
3. Latar
Menurut Abrams latar atau setting sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya  peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Menurut Burhan unsur latar dapat dibedakan menjadi tiga unsur poko yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial
Ketiga unsur tersebut menawarkan permasalahan yang berbeda dan membicarakan secara sendiri tetapi pada kenyataannya saling berkaitan dan mempengaruhi satu dengan yang lain.
4. Citra Perempuan
Citra perempuan merupakan wujud gambaran mental spiritual dan tingkah laku keseharian yang terekspresi oleh perempuan dalam berbagai aspek, yaitu aspek fisik dan psikis sebagai citra diri perempuan serta aspek keluarga dan masyarakat sebagai citra sosial.
Citra perempuan dalam penelitian ini berwujud mental spiritual dan tingkah laku keseharian yang terekspresi oleh tokoh Tuti yang menunjukkan wajah dan ciri khas perempuan. Citra perempuan dapat dilihat melalui peran yang mencerminkan perempuan dalam kehidupan sehari-hari.
Teori sastra feminisme melihat karya sastra sebagai cerminan realitas sosial patriarki. Oleh karena itu, tujuan penerapan teori ini adalah untuk membongkar anggapan patriarkis yang tersembunyi melalui gambaran atau citra perempuan dalam karya sastra. Dengan demikian, pembaca atau peneliti akan membaca teks sastra dengan kesadaran bahwa dirinya adalah perempuan yang tertindas oleh sistem sosial patriarki sehingga dia akan jeli melihat bagaimana teks sastra yang dibacanya itu menyembunyikan dan memihak pandangan patriarkis. Di samping itu, studi sastra dengan pendekatan feminis tidak terbatas hanya pada upaya membongkar anggapan-anggapan patriarki yang terkandung dalam cara penggambaran perempuan melalui teks sastra, tetapi berkembang untuk mengkaji sastra perempuan secara khusus, yakni karya sastra yang dibuat oleh kaum perempuan, yang disebut pula dengan istilah ginokritik.



Metodelogi Penelitian
1. Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif. Data deskriptif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah data yang terkumpul berbentuk kata, frase, klausa, kalimat, dan paragraf.  Metode penelitian ini bersifat induktif yaitu kesimpulan berfikir melalui suatu peristiwa.
2. Pendekatan
Pendekatan sastra pada dasarnya adalah teori untuk memahami jenis sastra tertentu sesuai dengan sifatnya. Pendekatan ini harus sesuai dengan pokok permasalahan yang hendak diteliti.
Pemilihan salah satu jenis pendekatan lebih didasarkan pada sifat, karakteristik, spesifikasi karya sastra sebagai objek kajian dan tujuan yang hendak dicapai. Dalam hal ini peneliti menggunakan pendekatan feminis, karena novel ini sangat berkaitan dengan latar sosial dan karakter tokoh Tuti sebagai emansipasi wanita yang aktif dalam organisasi perempuan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Peneliti menggunakan teknik kajian pustaka dalam tahap pengumpulan data, yaitu teknik pengumpulan data dengan mempergunakan sumber-sumber tertulis. Teknik kajian pustaka dilakukan dengan cara mencari, mengumpulkan, membaca, dan mempelajari buku-buku acuan, artikel, atau tulisan yang mempunyai hubungan atau yang menunjang penelitian.
Sebelum dianalisis, data yang telah terkumpul diklarifikasikan terlebih dahulu. Langkah mengklarifisikasi data ini merupakan langkah selanjutnya setelah data dikumpulkan dengan teknik pustaka. Klasifikasi data ini mencakup masalah-masalah yang dihadapi oleh perempuan pada tahun 1930an, masalah-masalah yang berhubungan dengan bentuk-bentuk kesadaran jender dalam diri tokoh Tuti, serta pengaruh budaya barat terhadap karakter tokoh Tuti.
Kemudian tahap selanjutnya yaitu menyeleksi data, tahap memilih data ini bertujuan untuk menfokuskan penelitian. Data-data tersebut dikaji untuk memperoleh pemahaman sepenuhnya dari novel Layar Terkembang. Hal ini dilakukan untuk menangkap makna dan fungsi yang menonjol dan utama dari segi tertentu yang dianalisis.
4. Teknik Penyajian Data
Tahap ini meupakan suaru rangkaian rakitan organisasi informasi dalam bentuk narasi yang memungkinkan simpulan penelitian dapat dilakukan. Sajian ini harus mengacu pada rumusan masalah yang telah dirumuskan sebagai pertanyaan penelitian, sehingga narasi yang tersaji merupakan deskripsi mengenai kondisi yang rinci untuk menceritakan dan menjawab permasalahan yang ada.
Penelitian terhadap novel ini Layar Terkembang ini dilakukan berdasarkan kerangka sosiologi sastra. Peneliti menganalisis data berdasarkan pendekatan feminis, Peneliti menganalisis data berdasarkan feminis yang sesuai dengan sifat, karakteristik, spesifikasi novel sebagai objek kajian dan yujuan yang hendak dicapai.
5. Teknik Penarikan Kesimpulan
Teknik penarikan kesimpulan atau verifikasi adalah langkah yang esensial dalam proses penelitian. Penarikan kesimpulan ini didasarkan atas pengorganisasian informasi yang diperoleh dalam analisis data. Penarikan kesimpulan dalam penelitian ini menggunakan teknik induktif, yaitu teknik penarikan kesimpulan dari data-data yang bersifat khusus menuju kesimpulan yang bersifat umum.





Daftar Pustaka

Edi Subroto. 2007. Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural. Surakarta : UNS Press
Nyoman Kutha Ratna. 2009. Stilistika (Kajian Puitika Bahasa Sastra dan Budaya). Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Sutan Takdir Alisjahbana. 1987. Layar Terkembang. Jakarta : Balai Pustaka

pragmatik prinsip kerja sama


Pendahuluan

Fungsi bahasa ada dua yaitu transaksional dan intraksional. Dalam transaksional bahasa digunakan sebagai penyampaian informasi, sedangkan intraksional bahasa menjaga hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur. Prinsip kerja sama (PKS) dipakai untuk kelancaran berkomunikasi antara satu dengan yang lain. Rumusan umum PKS adalah memberikan kontribusi seperti yang diminta pada yang dibutuhkan, dengan tujuan dan arah yang tepat dalam percakapan yang ada terlibat di dalamnya.
PKS sering tidak patuhi, pada kenyataan sekarang ini banyak penutur yang menggunakan tindak tutur secara tidak langsung dalam menyampaikan maksudnya. Maksud dari tindak tutur tidak langsung tersebut adalah agar ujaran atau perkataan terdengar santun. Untuk menjaga keharmonisan hubungan maka terdapat prinsip kesopanan yang harus dipatuhi.
Kesantunan pada umumnya berkaitan dengan hubungan antara dua partisipan yang disebut sebagai “diri sendiri” dan “orang lain”. Dalam percakapan, “diri sendiri” biasanya dikenal sebagai “pembicara”, dan orang lain sebagai penyimak. Rumusan Leech dianggap paling lengkap dan komprahensif.
Maksim merupakan kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual; kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya. Maksim-maksim tersebut menganjurkan agar seseorang  mengungkapkan keyakinan-keyakinan dengan sopan dan menghindari yang tidak sopan.
Dalam prinsip kesopanan yang dimiliki Leech akan dibahas dua maksim yaitu Maksim Kearifan dan Maksim Sopan Santun. Dalam hal ini Leech membaginya dalam 6 yaitu (1) Maksim Kebijakkan, (2) Maksim Kedermawan, (3) Maksim Pujian, (4) Maksim Kerendahan Hati, (5) Maksim Kesetujuan, dan (6) Maksim Simpati.
         
Pembahasan


Dalam prinsip kesopanan yang dimiliki Leech akan dibahas dua maksim yaitu Maksim Kearifan dan Maksim Sopan Santun. Berikut adalah analisis dialog interaktif dalam acara “ Saatnya Wanita Bicara edisi Meraih Rumahku Surgaku” Radio Persada FM melalui enam maksim sopan santun milik Leech :

1.      Maksim Kearifan (Tact Maxim) yaitu tuturan yang memberikan keuntungan bagi penutur. Hal ini terdapat dalam tindak tutur direktif dan komisif. Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin, buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin. Dalam dialog antara Afifah selaku pembawa acara dan Ibu Sri Purwaningsih selaku narasumber, terdapat Maksim Kearifan. Maksim Kearifan yang terjadi pada percakapan

a.   Penutur (p)             : “Assalamualaikum Pesona FM pilihan pas kita dan keluarga.   Kembali saya Afifah menyapa saudara pendengar  dan untuk hari ini selasa 13 muharam, 1434 Hijriah atau 27 november 2012 kita bersama dalam program saatnya wanita berbicara  dan seperti biasa  di studio sudah hadir  narasumber kita  ada ibu  Sri Purwaningsih dan langsung saja kita sapa beliau.  assalamulaikum ibu?
      Narasumber (n)      : “walaikumsalam “

b.   Penutur (p)             : “ baik buat mbak Siti di Sragen semoga bermanfaat, lalu yang ada di line telepon coba kita sapa assalamualaikum.”
c. Narasumber             : “Begitupun juga  kalo kita  mengasuh memelihara  mendidik anak yatim  didalam rumah tangga kita  itu rumah tangga kita akan  mendapat rahmat dan kecintaan Allah.  maka ini alangkah baiknya  kalau kita  mengamalkan Hadis ini ya jadi insyaAllah  keluarga kita akan  menjadi keluarga yang semarak dengan amal soleh  setiap hari setiap  saat itu ya termasuk rumah kita un menjadi  rumah yang diberkahi oleh Allah banyak pahalanya banyak berkahnya kalo kita memelihara anak yatim ya . Apalagi kalau anak yatim itu memang secara ekonomi juga kurang mampu kita membantu itu sangat bermanfaat. Walaupun  mampu tapi  tidak bisa mengelola dengan baik  juga bisa kita bantu walaupun tercukupi kebutuhan ekonominya  itu anak juga tidak hanya membutuhkan materi, anak yatim juga membutuhkan belas kasih sayang, membutuhkan sosok orang tua yang disebut bapak dan ibu ya , mereka juga mendambakan  keceriaan hidup seperti anak-anak lain yang  sebaya yang mempunyai  orang tua yang lengkap…”

            Kalimat percakapan di atas merupakan contoh Maksim Kearifan. Pembawa menyapa (a) para pendengar dan narasumber sehingga memunculkan keuntungan dan kenyaman bagi orang lain. Sedangkan contoh yang kedua (b) mengucapkan terima kasih berharap apa yang disampaikan narasumber dapat bermanfaat. Bahasa yang digunakan sopan dan baik karena pemilihan diksinya tepat sehingga tidak menyingung perasaan.  Kemudian untuk contoh ketiga (c) narasumber menggunakan tindak tutur direktif, di mana kita dianjurkan untuk menyanyuni anak yatim, karena dengan menyantuni anak yatim menjauhkan seseorang terhadap segala yang buruk. Narasumber menyadarkan pendengarnya tentang kehidupan anak yatim yang membutuhkan rasa kasih sayang. Dari tindak tutur tersebut maka terbentuklah maksim kearifan yaitu pengaruh yang menguntungankan orang lain.

2.      Maksim Kedermawaan (generosity maxim) yaitu tuturan yang menimbulkan kerugian pada penutur. Hal ini terdapat pada tindak tutur direktif dan tindak tutur komisif. Buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin, buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin. Dalam dialog ini dicontohkan misalnya :

Penutur (p)       : “…baik ibu kita akan membuka kesempatan bagi yang ingin bertanya ini, sekali bagi anda yang ingin bertanya mengenai masalah tersebut a bisa menggunakan line telepon 0271638123 atau melalui line sms di 081393809000…”

            Pernyataan di atas merupakan contoh tindak komisif menawarkan. Dalam hal ini komisif masuk pada maksim kedermawawaan. Kerugian pada penutur yang dimaksud adalah penutur diminta untuk memberikan kesempatan atau penawaran kepada orang lain yang sekiranya dapat bermanfaat atau mengguntungkan orang tersebut.

3.      Maksim Pujian (Praise Maxim) yaitu tuturan yang dapat memberikan pujian kepada penutur. Dalam hal ini terdapat pada tindak tutur ekspresif dan asertif. Kecamlah sedikit mungkin, pujilah orang lain sebanyak mungkin. Dalam dialog interaktif radio ini terdapat beberapa contoh maksim pujian :

Contoh (a)  Penutur : “Baik saudara ku pendengar baik dimana saja Anda berada , terimakasih anda masih bersama kami di program saatnya wanita berbicara. Dan bagi anda yang baru saja bergabung bersama kami a untuk hari ini kita sedang membahas masih dalam tema dalam rangka meraih rumah ku surga ku dan kita menyoroti masalah anak yatim yang ada dirumah kita atau mengasuh anak yatim…”

Contoh (b) Narasumber : “walaikumsalam jadi aaa… ibu sudah ada keinginan yang baik untuk bisa menyantuni anak yatim tapi apakah yang namanya menyantuni harus ikut bersama dengan kita kemudian aaa… kita pelihara di rumah sementara ibu sendiri juga dengan keadaan ibu sendiri masih merasa kekurangan dari segi ekonomi, maka aaa… kita bisa menyantuni anak yatim dengan tidak harus satu rumah dengan kita karena kebutuhan anak yatim itukan sama dengan kebutuhan anak-anak kita juga, tidak hanya sekedar harta gitu…”

Contoh (c) Narasumber : “…Jadi mudah-mudahan apa yang sudah ibu lakukan disini lebih banyak memelihara anak yatim jadi bisa dapat pahala yang banyak jadi sudah baik ibu mengisi waktu-waktu ibu kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, diantaranya dengan dengan tadi ya menyantuni anak-anak yatim itu sudah baik ibu, jadi mudah mudahan putranya juga a sama disana juga tetap tetap bahagia begitu, jadi ibu tetaplah ingat anak saya disana juga bahagia saya akan mendoakan supaya tetap bahagia sama disini juga kita sama sama bahagia jadi nanti kita berkumpul lagi disana begitu ibu ya, mudah-mudahan tetap ada kenangan yang baik dan tidak menjadikannya susah gitu”.

Kalimat yang diucapkan oleh penutur pada contoh (a) merupakan contoh maksim pujian, penutur pada percakapan pertama mengungkapkan rasa terima kasihnya terhadap pendengar yang masih setia mendengarkan dialog tersebut. Sedangkan untuk contoh (b) juga merupakan contoh maksim pujian terhadap Ibu Susi selaku penelpon yang mempunyai niat baik menolong anak yatim walaupun hidupnya sendiri penuh dengan kesederhanaan. Walaupun diungkapkan secara seperti doa, namun secara tidak langsung pernyataan (c) adalah ungkapan pujian kepada Ibu Sutarno di Boyolali karena telah membantu 82 anak yatim.

4.      Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim) yaitu tuturan yang merendahkan dirinya atau tidak memuji dirinya sendiri. Maksim ini terdapat pada tindak tutur ekspresi dan asertif. Pujilah diri sendiri sesedikit mungkin, kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin

Narasumber : “…Kalau yang bersangkutan itu sudah kecukupan dari segi materi kita bisa kan anak yatim itukan punya kebutuhan, kebutuhan seperti kalau dia punya bapak dan ibu sendiri, dia juga ingin mengadu, ingin memohon nasihat, ingin dukungan, ingin kasih sayang, karena itu yang bisa kita berikan ya. Apa yang bisa kita berikan oh keliyatannya kok a apanamanya butuh butuh dukungan dari segi mungkin tidak bisa pelajarannya apa kita ajari caranya atau anak kita ikut ngajari umpamanya seperti itu. Kemudian juga anak kelihatan susah kita hibur jadi apa yang dibutuhkan begitu ibu, itu juga sudah termasuk menyantuni. Ya kalau kita punya anu kita ajak makan bareng sana butuh butuh skali-kali diajak rekreasi keluarga kita rekreasi diajak sekalian dengan kita ikut rekreasi, umpamanya dananya ada. Itu apa yang dibutuhkan seorang anak jika bisa kita berikan kita berikan…”

Percakapan di atas memyatakan kepada kita untuk melakukan segala sesuatu bukan dari materi. Membantu adalah kegiatan yang mulia, tapi tidak harus berupa materi, kita bisa saja memberikan semangat, doa, maupun pengetahuan yang kita miliki untuk membantu anak yatim tersebut.

5.      Maksim Kesetujuan (Agreement Maxim) yaitu tuturan yang memberikan persetujuan kepada penutur. Maksim ini biasa terdapat dalam tindak tutur asertif. Usahakan agar ketaksepakatan antara diri dan lain terjadi sesedikit mungkin, usahakan agar kesepakatan antara diri dengan orang lain terjadi sebanyak mungkin. Ada beberapa contoh percakapan yang menggunkapkan sebuah persetujuan dalam dialog ini, misalnya saja:

Narasumber : “ya, aaaa wajar kalau kesepian tidak ada temennya, adik dan kakaknya nggak ada jadi hanya sendiri, ibunya sudah tidak ada, bapaknya kerja sampai sore ya. Memang seperti itu juga harus harus kita biasakan juga ya mbak siti nanti kalo suatu saat mbak siti juga menikah tadi ya suatu saatkan juga pasti menikah,…”

Kalimat “memang seperti itu”merupakan suatu kesetujuan antara penutur dan mitra tutur. Penutur menyetujui dengan apa yang dikatakan mitra tutur dengan sedikit menambahkan nasehat agar pernyataan tersebut menjadi lebih baik. Kesepakatan atau kesetujuan merupakan salah satu langkah awal untuk mempertahankan keharmonisan dalam berkomunikasi.


6.      Maksim Simpati (Sympathy Maxim) yaitu tuturan yang  mengepresikan rasa simpati. Dalam dialog ini rasa simpati dapat dicontohkan pada pernyataan berikut :

 Narasumber          : “…ibu cukup bersyukur putra ibu itu meninggal pada saat menunaikan ibadah haji, itu kan jelas …. Insyaallah itu dijalan Allah yang baik, sehingga ibu sudah menuju jalan yang baik, insyaallah tempatnya juga baik gitu ibu, jadi kalo ingat sama putranya ya didoakan ya Allah mudah-mudahan nanti saya bisa bersama-sama ketemu dengan anak saya lagi di akhirat sana bisa bersama-sama lagi disana.

      Dalam tuturan ini Ibu Sri selaku narasumber memberikan rasa simpatinya terhadap Ibu Sutarno selaku penelpon. Rasa simpati itu dapat dilihat pada ucapan doa semoga kelak Ibu Sutarno bisa dipertemukan dengan anaknya kelak.


Skala kesantunan menurut Leech :
  1. Skala Untung-Rugi (cost benefit scale), menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah penuturan. Semakin tuturan itu merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santun lah tuturan itu.
  2. Skala Pilihan (optionally Scale) menunjuk pada banyak atau sedikitnya pilihan yang disampaikan si penutur kepada banyak atau sedikitnya pilihan yang disampaikan penutur kepada mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu, dan begitu pula sebaliknya.
  3. Skala Ketidaklangsungan (indirectness scale), menunjuk kepada peringkat langsung dan tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin santun. Demikian pula sebaliknya.
  4. Skala keotoritasan (authority Scale), menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dan mitra tutur, tuturan itu akan cenderung menjadi semakin santun. Dan begitu pula sebaliknya.
  5. Skala jarak sosial (social distance scale), menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitar tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya , akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya. Dengan kata lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur.


Prinsip Pollyana

Prinsip Pollyana adalah prinsip yang menuntun seseorang untuk melihat sesuatu dari sisi yang cerah, daripada sisi yang gelap. Penggunaan prinsip menggunakan gaya bahasa eufimisme, menyembunyikan hal-hal yang tidak mengerakkan. Penggunaan kata-kata yang dapat melunakkan dampak makna negatif, misalnya kata : agak, kurang, sedikit. Dalam dalog Radio tersebut dicontohkan misalnya :

Narasumber : “…Apalagi tadi background keluarganya berantakan kemungkinan dia mungkin tidak bahagia di sana ya dengan background keluarga yang seperti itu. Bisa juga pendidikannya dari segi agama mungkin kurang juga…”

Kata “kurang” di sini untuk lebih memberikan sesuatu yang baik daripada kata “tidak tahu sama sekali”. Narasumber berusaha memilih diksi yang lebih baik dan sopan agar disetiap pernyataannya tidak menyinggung. Maka Ibu Pur selaku narasuber telah menerapkan prinsip Pollyana.

Prinsip Ironi / Cemooh

Penutur bertutur secara santun tetapi yang dituturkan tidak benar. Penutur mengungkapkan daya ilokusi yaitu apa yang sebernarnya dimaksudkan. Namun dalam hal ini tidak ditemukan kata-kata atau ungkapan yang dengan sengaja maupun tidak sengaja mencemooh mitra tutur ataupun pendengar.






Kesimpulan

            Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa percakapan dalam dialog interaktif dalam Radio swasta Persada FM dapat dianalisis menggunakan prinsip kesantunan Leech. Dalam hal ini dialog tersebut mencakup keenam maksim sopan santun yang telah dikemukakan di atas.
            Dialog interaktif yang dilakukan adalah dialog tentang keagamaan, bertema “Menyantuni Anak Yatim”. Topik keagamaan di atas mempengaruhi analisis prinsip kesopanan, karena dari keenam maksim, maksim kearifan paling banyak dicontohkan. Dalam maksim kearifan terdapat tindak tutur direktif yang bersifat mempengaruhi mitra tutur untuk melakukan tindakan seperti apa yang diinginkan penutur. Narasumber berusaha untuk mengajak pendengar berbuat kebaikan dengan car menyantuni anak yatim.
            Bahasa yang digunakan adalah bahasa yang formal karena dalam hal ini situasi dan topik yang formal. Pemilihan kata yang sering kali melanggar PKS merupakan salah usaha untuk menjaga keharmonisan antara penutur dan mitra tutur maupun pendengar. Maka tidak jarang ada pernyataan yang mengancam muka penutur itu sendiri.



Daftar Pustaka

Leech, G. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta : Universitas Indonesia
www.pragmatic-asik.blogspot.com/2010/06/maksim-kesopanan  diakses pada Kamis, 27 Desember 2012 pukul 12.30